Hasil pengelolaan migas di Indonesia memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Jika dilihat dalam APBN, hasil penerimaan migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah. Dengan alasan inilah industri migas dikatakan industri strategis yang memainkan peranan penting dalam pembangunan.
Namun tidak semua stakeholder terutama masyarakat umum mengerti pola pengelolaan migas yang saat ini diterapkan di Indonesia. Model Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) yang banyak diadopsi oleh negara lain merupakan model yang dikembangkan oleh Indonesia.
Tulisan dibawah ini mencoba untuk menggambarkan secara umum pengelolaan migas di Indonesia dalam bentuk Question and Answer. Tulisan ini tidak akan memberikan gambaran mendetail, tetapi mencoba memberikan informasi kepada masyarakat berupa informasi-informasi umum mengenai kontrak migas. Semoga kita bisa lebih memahami mengenai pengelolaan migas dan bisa lebih membuat pengelolaan migas menjadi lebih baik di masa depan
Karakteristik Kontrak Bagi Hasil
Q : Apa itu Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC)?
A : Adalah kontrak bagi hasil dimana produksi dibagi berdasarkan prosentase tertentu yang disepakati. Kontrak pengelolaan migas yang ada/pernah ada di Indonesia adalah:
- Konsesi : kontraktor memiliki kekuasaan penuh atas minyak yang ditambang dan wajib membayar royalti kepada negara. Kontrak ini tidak ada lagi sejak 1961
- Kontrak karya : merupakan kontrak profit sharing dimana manajemen ada di kontraktor. Kontrak ini tidak ada lagi sejak 1983
- Production Sharing Contract (PSC)
- Technical Assistance Contract (produksi yang dibagi hanya diperoleh dari pertambahan produksi setelah secondary recovery. Bukan dari total produksi)
- Joint Operating Body. Kontrak ini sama seperti PSC namun pemerintah/pertamina ikut serta dalam permodalan sehingga komposisi menjadi 50 : 50.
A : Misalkan Anda memiliki lahan seluas 3 ha di Lembang. Anda bekerja di Jakarta sebagai karyawan. Mungkin dengan kesibukan anda saat ini, anda belum bisa mengolah lahan itu menjadi lahan pertanian yang menguntungkan. Untuk optimalisasi, mungkin anda bisa menyewakan lahan tersebut kepada petani setempat. Lahan tersebut bisa disewakan selama waktu tertentu (anda mendapatkan uang sewa) atau anda bisa meminta mereka akan mengelowa lahan itu dengan sistem bagi hasil. Dari hasil panen yang dihasilkan, anda mungkin mendapatkan 30% dan sisanya menjadi hak petani. Seperti itulah kontrak bagi hasil. Pemerintah memberikan hak kepada perusahaan minyak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah kerja tertentu selama periode tertentu. Hasil yang diperoleh akan dibagi sesuai dengan perjanjian
Q: Apa karakterisitk dari PSC?
A: Dalam kontrak PSC, semua resiko ada di kontraktor. Negara tidak memiliki eksposure atas resiko kegagalan dalam proses eksplorasi. Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun (termasuk 6-10 tahun untuk eksplorasi). Seluruh peralatan yang dibeli dalam rangka kontrak PSC menjadi milik negara dan serta adanya kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) untuk kontraktor migas
Q: Bagaimana perkembangan PSC di Indonesia?
A: PSC di Indonesia sudah melewati 3 generasi. Generasi pertama (1965 - 1978) dimana cost recovery dibatasi sebesar 40%, bagian kontraktor adalah 35% bersih dan DMO tanpa grace period. Generasi kedua (1978 - 1988) dimana cost recovery tidak ada pembatasan, bagian kontraktor 15% bersih, investment credit sebesar 20% dan DMO dengan harga pasar untuk 5 tahun. Generasi ketiga (1988 - skrg) dimana mulai dikenalkan adanya FTP (First Tranche Petroleum) yang besarnya 20% dari produksi gross serta DMO yang bervariasi antara harga ekspor.
Q : Mengapa Indonesia memberikan hak kepada perusahaan minyak, terutama asing, untuk mengolah Sumber Daya Migas dibandingkan mengelola sendiri atau melalui BUMN?
A : Industri minyak dan gas bumi memiliki karakteristik padat modal, padat teknologi dan penuh ketidakpastian (resiko). Tidak ada yang bisa menjamin bahwa didalam perut bumi terkandung minyak dan gas yang memiliki jumlah yang ekonomis. Pada saat awal berdirinya republik, kita belum memiliki modal dan teknologi untuk mencari dan mengelola migas sendiri. Oleh karena itu, kita mengundang perusahaan asing untuk mengelola sumber daya migas kita. Diharapkan terjadi alih teknologi sehingga suatu saat kita bisa mengelola migas sendiri (semoga…).
Q : Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tentunya membutuhkan minyak dalam kehidupan sehari-harinya,bagaimana pemerintah menjamin ketersediaan BBM di dalam negeri?
A : Berdasarkan kontrak bagi hasil, diatur bahwa kontraktor migas harus menjual bagiannya paling banyak 25% ke dalam negeri. Ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan BBM di pasar dalam negeri. Namun berdasarkan hasil uji materi atas UU no 22/2001 yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), ketentuan tersebut diubah menjadi wajib 25% (dari paling banyak). Harga yang ditetapkan bisa berdasarkan harga pasar atau harga tertentu. Ketentuan ini dikenal dengan istilah Domestic Market Obligation (DMO). Kontraktor akan mendapatkan DMO fee atas hal ini.
Regulator Kegiatan Operasional Migas
Q : Institusi pemerintah mana yang mengatur kegiatan operasional migas?
A : Terdapat dua institusi pemerintah yang terlibat dalam kegiatan hulu migas. Yang pertama adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas bumi (Ditjen MIGAS) serta Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS)
Q : Lantas apa peranan pertamina dalam pengelolaan Migas?
A : Pertamina, dalam hal ini PT Pertamina EP, merupakan salah satu kontraktor migas nasional yang mendapatkan hak atas beberapa wilayah kerja di seluruh Indonesia. Jadi posisi Pertamina, dalam hal ini Pertamina EP, sama dengan kontraktor migas lain seperti Medco, Chevron, Exxon. Sebelum adanya UU no 22 tahun 2001 mengenai Minyak dan Gas Bumi, Pertamina merupakan pemegang Kuasa atas pengelolaan migas di Indonesia. Sehingga kontraktor migas menandatangani kontrak dengan Pertamina. Namun dengan UU tsb, dilakukan pemisahan antara regulator dan player. Fungsi regulator diserahkan kepada badan Pelaksana (dalam hal ini BPMIGAS) sedangkan pertamina disamakan fungsinya seperti kontraktor migas lainnya
Q : Apa beda BPMIGAS dengan BPH Migas? Apakah keduanya merupakan institusi yang sama
A : Dalam UU no 22 tahun 2001 (mengenai Migas), kegiatan industri migas dibagi menjadi kegiatan hulu (mencari sampai menghasilkan produk migas) dan kegiatan hilir (pemasaran migas). Dahulu kegiatan hilir dikuasi oleh Pertamina, namun sekarang sudah dibuka 100% buat perusahaan lain diluar pertamina. Sehingga bukan hanya SPBU Pertamina yang sering kita lihat tetapi SPBU Shell dan Petronas sudah mulai masuk Indonesia. Institusi yang mengatur kegiatan hulu adalah BPMIGAS sedangkan institusi yang mengatur kegiatan hilir adalah BPH Migas ( H nya adalah hilir)
Perhitungan Bagi Hasil Secara Umum
Q : Berapa besarnya prosentase bagi hasil antara pemerintah dengan kontraktor migas?
A : Secara umum, prosentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor sebesar 85 : 15 (untuk minyak) dan 70 : 30 (untuk gas). Namun perhitungan secara detail diatur dalam perjanjian masing-masing
Q : Jika diperoleh minyak sebesar US$ 1,000 apakah pemerintah memperoleh US$ 850?
A : Pemerintah tidak secara serta merta mendapatkan 85% dari hasil yang diperoleh. Hasil perolehan minyak itu harus dikurangi dulu dengan biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor migas sebelum dibagi ke pemerintah dan kontraktor sesuai prosentase yang diatur dalam kontrak
Q: Berapa bagian pemerintah jika seandainya ada biaya sebesar US$ 400 dan menghasilkan minyak sebesar US$ 1,000
A : Bagian pemerintah adalah 85% dari US$ 600 atau sebesar US$ US$ 510. Sedangkan bagian kontraktor sebesar US$ 490 (US$ 400 merupakan penggantian biaya ditambah 15% dari US$ 600)
Q : Berarti prosentase bagi hasil yang disebutkan diatas bukan prosentase gross tetapi prosentase net?
A : Benar. Prosentase tersebut adalah prosentase net dimana hasil penerimaan minyak dikurangi biaya-biaya produksi minyak. Biaya ini dimulai dari biaya dalam tahap eksplorasi (mencari cadangan migas) sampai dengan biaya dalam tahap produksi. Biaya-biaya inilah yang dikenal dengan istilah cost recovery. Dalam contoh perhitungan diatas, porsi pemerintah menjadi 51% sedangkan kontraktor 49% dari penerimaan
Biaya Eksplorasi dan Eksploitasi
Q : Apakah pemerintah langsung mengganti biaya kontraktor migas setiap tahun sesuai dengan jumlah yang mereka keluarkan?
A : Tidak. Pemerintah akan mulai mengganti biaya kontraktor ketika wilayah kerjanya dinyatakan ekonomis. Maksudnya seluruh biaya dalam tahap eksplorasi (mencari cadangan migas) tidak akan diganti apabila wilayah kerja tersebut belum dinyatakan komersil (memenuhi kriteria ekonomis untuk di eksploitasi)
Q : Berarti ada kemungkinan biaya yang dikeluarkan kontraktor migas tidak diganti oleh pemerintah?
A : Ya. Biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor migas tersebut tidak diganti apabila kontraktor migas tidak menemukan cadangan minyak atau menemukan cadangan migas namun cadangan yang ditemukan tidak dinyatakan ekonomis oleh pemerintah. Sehingga dalam hal ini, pemerintah tidak menanggung resiko sama sekali jika ada pengeboran yang gagal
Q : Kapan suatu wilayah kerja dinyatakan komersil?
A : Wilayah kerja dinyatakan komersil apabila perkiraan cadangan migas dapat menutup biaya yang telah dikeluarkan (dalam tahap eksplorasi) dan menutup biaya produksi migas (mengambil dan mengolah migas dari perut bumi)
Q : Apa yang dimaksud tahap ekspolitasi?
A : Tahap ekslploitasi merupakan tahap lanjutan dari tahap eksplorasi. Jika dalam tahap eksplorasi, tujuan utamanya adalah mencari cadangan migas terbukti (proven reservoir) maka tahap eksploitasi bertujuan untuk mengambil cadangan tersebut dari perut bumi
Q : Berarti dalam tahap ini mulai dibangun fasilitas produksi?
A : Benar. Tahap ini dimulai dari pengeboran sumur produksi sampai dengan pembuatan fasilitas produksi yang diperlukan.
Q : Apakah biaya yang terjadi di tahap ini langsung diganti oleh pemerintah?
A : Penggantian biaya kontraktor migas (cost recovery) dimulai dalam tahap ini. Biaya eksploitasi akan diganti setelah biaya dalam tahap eksplorasi sudah diganti semua. Biaya dalam tahap eksplorasi ini sering dikenal dengan istilah sunk cost
Komponen Biaya Cost Recovery
Q: Bagaimana penggolongan biaya yang bisa di cost recovery?
A : Biaya yang bisa di cost recovery terdiri dari tiga macam:
- Unrecovered Cost : Biaya ini merupakan sunk cost yang belum di cost recovery.
- Current Year Operating Cost
- Current Year Depreciation atas Capital Cost)
Q : Apakah pemerintah mengganti seluruh biaya kontraktor migas?A : Pada dasarnya, konsep bagi hasil yang dianut oleh Indonesia akan mengganti biaya kontraktor migas sebesar 100%. Tidak ada pembatasan atas biaya-biaya yang bisa diganti oleh pemerintah. Namun ketentuan ini sudah berubah. Hasil audit BPK menemukan adanya biaya-biaya yang tidak sepatutnya jika diganti oleh pemerintah (misal biaya yang terkait dengan kegiatan CSR perusahaan) ditindaklanjuti dengan menerbitkan Permen ESDM no 22 tahun 2008 yang mengatur biaya-biaya yang tidak bisa di ganti oleh pemerintah (non cost recovery) antara lain : pembebanan dana community development pada masa eksploitasi, technical training untuk ekspatriat, biaya konsultan pajak.
Q : Apa yang dimaksud dengan investment Credit?
A : Investment Credit merupakan bentuk insentif pemerintah kepada kontraktor migas untuk lebih memberikan daya saing investasi migas di Indonesia dibandingkan negara lain. Jika kontraktor migas mendapatkan fasilitas investment credit berarti dia memperoleh hak untuk meminta ganti kepada pemerintah sebesar prosentase tertentu atas nilai investasi yang berhubungan langsung dengan pembangunan fasilitas produksi
Q : Bukannya investasi mereka sudah pasti diganti oleh pemerintah?
A : Benar. Seluruh investasi mereka akan diganti oleh pemerintah melalui mekanisme cost recovery. Namun dalam rangka menarik minat investasi migas, khususnya dikawasan timur indonesia dan diwilayah yang tergolong laut dalam, pemerintah memberikan fasilitas investment credit. Yang berarti, mereka bisa meminta ganti atas investasi selain yang sudah diganti lewat cost recovery. Misalnya nilai investasi mereka sebesar US$ 1,000. Maka nilai 1,000 itu akan diganti seluruhnya melalui cost recovery ditambah sekian persen dari nilai US$ 1,000 (yang merupakan investment credit). Investment credit merupakan hak kontraktor namun hanya diberikan dengan persetujuan pemerintah
Q : Apakah pemerintah mengeluarkan uang tunai untuk mengganti cost recovery?
A : Tidak. Pemerintah tidak mengeluarkan uang tunai untuk mengganti cost recovery. Tetapi dari hasil produksi minyak (dalam barel) atau gas (dalam MMSCFD) langsung dikurangi cost recovery.
Q : Bagaimana jika hasil produksi migas tidak cukup untuk mengganti cost recovery? Apakah pemerintah tidak mendapatkan bagi hasil?
A : Secara umum, prosentase bagi hasil merupakan prosentase net dimana hasil produksi harus dikurangi dulu dengan biaya produksi sebelum dibagi ke dua belah pihak. Sehingga dengan konsep ini, maka pemerintah tidak mendapatkan bagi hasil apabila hasil produksi belum cukup untuk mengganti biaya produksi. Namun untuk menjamin adanya penerimaan negara atas migas, walaupun hasilnya belum menutup biaya produksi, di kenalkan mekanisme FTP (First Tranche Petroleum). Dimana pemerintah secara otomatis memperoleh 20% dari produksi sebelum hasil produksi tersebut dikurangkan cost recovery dan investment credit . FTP ini diperhitungkan kembali sebagai bagian dari prosentase bagi hasil
Q: Bagaimana cara menghitung bagi hasil migas?
A : 85 : 15 (untuk oil) dan 70 : 30 (untuk gas) adalah prosentase yang dihitung dari Equity to be split. Ini bagi hasil yang dijamin dalam kontrak bagi hasil. Namun untuk mendapatkan angka ini, terdapat perhitungan DMO, DMO fee dan Tax. Sehingga perlu dilakukan perhitungan gross up atas prosentase di bagian ETBS ssehingga secara bottom nilai prosentasenya mencapai 85 : 15 dan 70 : 30
Sumber: Kompasiana