Pengenalan kepada bangungan lepas pantai

Saturday, July 20, 2013
Pernah Melihat bangunan seperti dibawah ini? ini adalah salah satu contoh bangunan lepas pantai, 
nah pada artikel ini kita akan membahas tentang bangunan lepas pantai



Apa itu Offshore structure?
Coba bayangin sebuah kota pinggir pantai, lalu kita tampilkan secara eleation view, maka akan tampak seperti ini

Elevation View


Jadi udah tau kan? kalo offshore structure itu adalah struktur yg terletak di laut terbuka yang tidak memiliki akses ke darat dan tetap berada diposisinya dalam segala kondisi cuaca/lingkungannya seperti angin/topan, ombak/badai, gempa dll.

Lalu apa fungsinya offshore structure ini ?
struktur ini didedikasikan untuk menopang industri migas maka fungsi utamanya antara lain ya sebagai PLATFORM buat "eksplorasi" atau bisa juga "produksi" atau "akomodasi" atau bisa juga buat "storage and offloading" minyak atau gas.

Bidang apa aja sih yang terlibat dalam perancangan atau rekayasa offshore structure ?
Tentunya ya bidang structural engineering, material science, ocean engineering, soil and foundation engineering, naval architecture, marine operation engineering, corrosion engineering, steel and concrete design and construction, seismology and earthquake engineering dll.

Kembali ke jenis strukturnya, seperti apa aja sih ? Mari kita lihat gambar dibawah ini.
Offshore Structure


kalau di urutin dari kiri yah nama nama offshore structurenya antara lain.

fixed platforms ( no 1 dan 2 ) compliant tower ( no 3), vertically moored tension leg and mini-tension leg platform ( no 4 dan 5), Spar ( no 6 ), Semi-submersibles  (no 7 dan 8 ), Floating production, storage, and offloading facility (no 9) sub-sea completion and tie-back to host facility (no 10)

Sudah ada gambaran kan tentang bangunan lepas pantai itu apa? semoga artikel ini bermanfaat ya. terimakasih

Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia

Saturday, July 20, 2013

Hasil pengelolaan migas di Indonesia memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Jika dilihat dalam APBN, hasil penerimaan migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah. Dengan alasan inilah industri migas dikatakan industri strategis yang memainkan peranan penting dalam pembangunan.

Namun tidak semua stakeholder terutama masyarakat umum mengerti pola pengelolaan migas yang saat ini diterapkan di Indonesia. Model Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) yang banyak diadopsi oleh negara lain merupakan model yang dikembangkan oleh Indonesia.

Tulisan dibawah ini mencoba untuk menggambarkan secara umum pengelolaan migas di Indonesia dalam bentuk Question and Answer. Tulisan ini tidak akan memberikan gambaran mendetail, tetapi mencoba memberikan informasi kepada masyarakat berupa informasi-informasi umum mengenai kontrak migas. Semoga kita bisa lebih memahami mengenai pengelolaan migas dan bisa lebih membuat pengelolaan migas menjadi lebih baik di masa depan

Karakteristik Kontrak Bagi Hasil

Q : Apa itu Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC)?
A : Adalah kontrak bagi hasil dimana produksi dibagi berdasarkan prosentase tertentu yang disepakati. Kontrak pengelolaan migas yang ada/pernah ada di Indonesia adalah:
  1. Konsesi : kontraktor memiliki kekuasaan penuh atas minyak yang ditambang dan wajib membayar royalti kepada negara. Kontrak ini tidak ada lagi sejak 1961
  2. Kontrak karya : merupakan kontrak profit sharing dimana manajemen ada di kontraktor. Kontrak ini tidak ada lagi sejak 1983
  3. Production Sharing Contract (PSC)
  4. Technical Assistance Contract (produksi yang dibagi hanya diperoleh dari pertambahan produksi setelah secondary recovery. Bukan dari total produksi)
  5. Joint Operating Body. Kontrak ini sama seperti PSC namun pemerintah/pertamina ikut serta dalam permodalan sehingga komposisi menjadi 50 : 50.
Q : Bisa diuraikan secara singkat mengenai contoh Kontrak Bagi Hasil diluar minyak bumi?
A : Misalkan Anda memiliki lahan seluas 3 ha di Lembang. Anda bekerja di Jakarta sebagai karyawan. Mungkin dengan kesibukan anda saat ini, anda belum bisa mengolah lahan itu menjadi lahan pertanian yang menguntungkan. Untuk optimalisasi, mungkin anda bisa menyewakan lahan tersebut kepada petani setempat. Lahan tersebut bisa disewakan selama waktu tertentu (anda mendapatkan uang sewa) atau anda bisa meminta mereka akan mengelowa lahan itu dengan sistem bagi hasil. Dari hasil panen yang dihasilkan, anda mungkin mendapatkan 30% dan sisanya menjadi hak petani. Seperti itulah kontrak bagi hasil. Pemerintah memberikan hak kepada perusahaan minyak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah kerja tertentu selama periode tertentu. Hasil yang diperoleh akan dibagi sesuai dengan perjanjian

Q: Apa karakterisitk dari PSC?
A: Dalam kontrak PSC, semua resiko ada di kontraktor. Negara tidak memiliki eksposure atas resiko kegagalan dalam proses eksplorasi. Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun (termasuk 6-10 tahun untuk eksplorasi). Seluruh peralatan yang dibeli dalam rangka kontrak PSC menjadi milik negara dan serta adanya kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) untuk kontraktor migas

Q: Bagaimana perkembangan PSC di Indonesia?
A: PSC di Indonesia sudah melewati 3 generasi. Generasi pertama (1965 - 1978) dimana cost recovery dibatasi sebesar 40%, bagian kontraktor adalah 35% bersih dan DMO tanpa grace period. Generasi kedua (1978 - 1988) dimana cost recovery tidak ada pembatasan, bagian kontraktor 15% bersih, investment credit sebesar 20% dan DMO dengan harga pasar untuk 5 tahun. Generasi ketiga (1988 - skrg) dimana mulai dikenalkan adanya FTP (First Tranche Petroleum) yang besarnya 20% dari produksi gross serta DMO yang bervariasi antara harga ekspor.

Q : Mengapa Indonesia memberikan hak kepada perusahaan minyak, terutama asing, untuk mengolah Sumber Daya Migas dibandingkan mengelola sendiri atau melalui BUMN?
A : Industri minyak dan gas bumi memiliki karakteristik padat modal, padat teknologi dan penuh ketidakpastian (resiko). Tidak ada yang bisa menjamin bahwa didalam perut bumi terkandung minyak dan gas yang memiliki jumlah yang ekonomis. Pada saat awal berdirinya republik, kita belum memiliki modal dan teknologi untuk mencari dan mengelola migas sendiri. Oleh karena itu, kita mengundang perusahaan asing untuk mengelola sumber daya migas kita. Diharapkan terjadi alih teknologi sehingga suatu saat kita bisa mengelola migas sendiri (semoga…).

Q : Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tentunya membutuhkan minyak dalam kehidupan sehari-harinya,bagaimana pemerintah menjamin ketersediaan BBM di dalam negeri?
A : Berdasarkan kontrak bagi hasil, diatur bahwa kontraktor migas harus menjual bagiannya paling banyak 25% ke dalam negeri. Ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan BBM di pasar dalam negeri. Namun berdasarkan hasil uji materi atas UU no 22/2001 yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), ketentuan tersebut diubah menjadi wajib 25% (dari paling banyak). Harga yang ditetapkan bisa berdasarkan harga pasar atau harga tertentu. Ketentuan ini dikenal dengan istilah Domestic Market Obligation (DMO). Kontraktor akan mendapatkan DMO fee atas hal ini.



Regulator Kegiatan Operasional Migas

Q : Institusi pemerintah mana yang mengatur kegiatan operasional migas?
A : Terdapat dua institusi pemerintah yang terlibat dalam kegiatan hulu migas. Yang pertama adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas bumi (Ditjen MIGAS) serta Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS)

Q : Lantas apa peranan pertamina dalam pengelolaan Migas?
A : Pertamina, dalam hal ini PT Pertamina EP, merupakan salah satu kontraktor migas nasional yang mendapatkan hak atas beberapa wilayah kerja di seluruh Indonesia. Jadi posisi Pertamina, dalam hal ini Pertamina EP, sama dengan kontraktor migas lain seperti Medco, Chevron, Exxon. Sebelum adanya UU no 22 tahun 2001 mengenai Minyak dan Gas Bumi, Pertamina merupakan pemegang Kuasa atas pengelolaan migas di Indonesia. Sehingga kontraktor migas menandatangani kontrak dengan Pertamina. Namun dengan UU tsb, dilakukan pemisahan antara regulator dan player. Fungsi regulator diserahkan kepada badan Pelaksana (dalam hal ini BPMIGAS) sedangkan pertamina disamakan fungsinya seperti kontraktor migas lainnya

Q : Apa beda BPMIGAS dengan BPH Migas? Apakah keduanya merupakan institusi yang sama
A : Dalam UU no 22 tahun 2001 (mengenai Migas), kegiatan industri migas dibagi menjadi kegiatan hulu (mencari sampai menghasilkan produk migas) dan kegiatan hilir (pemasaran migas). Dahulu kegiatan hilir dikuasi oleh Pertamina, namun sekarang sudah dibuka 100% buat perusahaan lain diluar pertamina. Sehingga bukan hanya SPBU Pertamina yang sering kita lihat tetapi SPBU Shell dan Petronas sudah mulai masuk Indonesia. Institusi yang mengatur kegiatan hulu adalah BPMIGAS sedangkan institusi yang mengatur kegiatan hilir adalah BPH Migas ( H nya adalah hilir)



Perhitungan Bagi Hasil Secara Umum

Q : Berapa besarnya prosentase bagi hasil antara pemerintah dengan kontraktor migas?
A : Secara umum, prosentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor sebesar 85 : 15 (untuk minyak) dan 70 : 30 (untuk gas). Namun perhitungan secara detail diatur dalam perjanjian masing-masing

Q : Jika diperoleh minyak sebesar US$ 1,000 apakah pemerintah memperoleh US$ 850?
A : Pemerintah tidak secara serta merta mendapatkan 85% dari hasil yang diperoleh. Hasil perolehan minyak itu harus dikurangi dulu dengan biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor migas sebelum dibagi ke pemerintah dan kontraktor sesuai prosentase yang diatur dalam kontrak

Q: Berapa bagian pemerintah jika seandainya ada biaya sebesar US$ 400 dan menghasilkan minyak sebesar US$ 1,000
A : Bagian pemerintah adalah 85% dari US$ 600 atau sebesar US$ US$ 510. Sedangkan bagian kontraktor sebesar US$ 490 (US$ 400 merupakan penggantian biaya ditambah 15% dari US$ 600)

Q : Berarti prosentase bagi hasil yang disebutkan diatas bukan prosentase gross tetapi prosentase net?
A : Benar. Prosentase tersebut adalah prosentase net dimana hasil penerimaan minyak dikurangi biaya-biaya produksi minyak. Biaya ini dimulai dari biaya dalam tahap eksplorasi (mencari cadangan migas) sampai dengan biaya dalam tahap produksi. Biaya-biaya inilah yang dikenal dengan istilah cost recovery. Dalam contoh perhitungan diatas, porsi pemerintah menjadi 51% sedangkan kontraktor 49% dari penerimaan




Biaya Eksplorasi dan Eksploitasi

Q : Apakah pemerintah langsung mengganti biaya kontraktor migas setiap tahun sesuai dengan jumlah yang mereka keluarkan?
A : Tidak. Pemerintah akan mulai mengganti biaya kontraktor ketika wilayah kerjanya dinyatakan ekonomis. Maksudnya seluruh biaya dalam tahap eksplorasi (mencari cadangan migas) tidak akan diganti apabila wilayah kerja tersebut belum dinyatakan komersil (memenuhi kriteria ekonomis untuk di eksploitasi)

Q : Berarti ada kemungkinan biaya yang dikeluarkan kontraktor migas tidak diganti oleh pemerintah?
A : Ya. Biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor migas tersebut tidak diganti apabila kontraktor migas tidak menemukan cadangan minyak atau menemukan cadangan migas namun cadangan yang ditemukan tidak dinyatakan ekonomis oleh pemerintah. Sehingga dalam hal ini, pemerintah tidak menanggung resiko sama sekali jika ada pengeboran yang gagal

Q : Kapan suatu wilayah kerja dinyatakan komersil?
A : Wilayah kerja dinyatakan komersil apabila perkiraan cadangan migas dapat menutup biaya yang telah dikeluarkan (dalam tahap eksplorasi) dan menutup biaya produksi migas (mengambil dan mengolah migas dari perut bumi)

Q : Apa yang dimaksud tahap ekspolitasi?
A : Tahap ekslploitasi merupakan tahap lanjutan dari tahap eksplorasi. Jika dalam tahap eksplorasi, tujuan utamanya adalah mencari cadangan migas terbukti (proven reservoir) maka tahap eksploitasi bertujuan untuk mengambil cadangan tersebut dari perut bumi

Q : Berarti dalam tahap ini mulai dibangun fasilitas produksi?
A : Benar. Tahap ini dimulai dari pengeboran sumur produksi sampai dengan pembuatan fasilitas produksi yang diperlukan.

Q : Apakah biaya yang terjadi di tahap ini langsung diganti oleh pemerintah?
A : Penggantian biaya kontraktor migas (cost recovery) dimulai dalam tahap ini. Biaya eksploitasi akan diganti setelah biaya dalam tahap eksplorasi sudah diganti semua. Biaya dalam tahap eksplorasi ini sering dikenal dengan istilah sunk cost



Komponen Biaya Cost Recovery

Q: Bagaimana penggolongan biaya yang bisa di cost recovery?
A : Biaya yang bisa di cost recovery terdiri dari tiga macam:
  1. Unrecovered Cost : Biaya ini merupakan sunk cost yang belum di cost recovery.
  2. Current Year Operating Cost
  3. Current Year Depreciation atas Capital Cost)
Jika dalam tahun tertentu total biaya belum bisa ditutup oleh hasil migas, maka biaya tersebut akan dibawa ke tahun berikutnya untuk diperhitungkan kembali (sisa biaya yang masih belum di cost recovery)

Q : Apakah pemerintah mengganti seluruh biaya kontraktor migas?A : Pada dasarnya, konsep bagi hasil yang dianut oleh Indonesia akan mengganti biaya kontraktor migas sebesar 100%. Tidak ada pembatasan atas biaya-biaya yang bisa diganti oleh pemerintah. Namun ketentuan ini sudah berubah. Hasil audit BPK menemukan adanya biaya-biaya yang tidak sepatutnya jika diganti oleh pemerintah (misal biaya yang terkait dengan kegiatan CSR perusahaan) ditindaklanjuti dengan menerbitkan Permen ESDM no 22 tahun 2008 yang mengatur biaya-biaya yang tidak bisa di ganti oleh pemerintah (non cost recovery) antara lain : pembebanan dana community development pada masa eksploitasi, technical training untuk ekspatriat, biaya konsultan pajak.

Q : Apa yang dimaksud dengan investment Credit?
A : Investment Credit merupakan bentuk insentif pemerintah kepada kontraktor migas untuk lebih memberikan daya saing investasi migas di Indonesia dibandingkan negara lain. Jika kontraktor migas mendapatkan fasilitas investment credit berarti dia memperoleh hak untuk meminta ganti kepada pemerintah sebesar prosentase tertentu atas nilai investasi yang berhubungan langsung dengan pembangunan fasilitas produksi

Q : Bukannya investasi mereka sudah pasti diganti oleh pemerintah?
A : Benar. Seluruh investasi mereka akan diganti oleh pemerintah melalui mekanisme cost recovery. Namun dalam rangka menarik minat investasi migas, khususnya dikawasan timur indonesia dan diwilayah yang tergolong laut dalam, pemerintah memberikan fasilitas investment credit. Yang berarti, mereka bisa meminta ganti atas investasi selain yang sudah diganti lewat cost recovery. Misalnya nilai investasi mereka sebesar US$ 1,000. Maka nilai 1,000 itu akan diganti seluruhnya melalui cost recovery ditambah sekian persen dari nilai US$ 1,000 (yang merupakan investment credit). Investment credit merupakan hak kontraktor namun hanya diberikan dengan persetujuan pemerintah

Q : Apakah pemerintah mengeluarkan uang tunai untuk mengganti cost recovery?
A : Tidak. Pemerintah tidak mengeluarkan uang tunai untuk mengganti cost recovery. Tetapi dari hasil produksi minyak (dalam barel) atau gas (dalam MMSCFD) langsung dikurangi cost recovery.

Q : Bagaimana jika hasil produksi migas tidak cukup untuk mengganti cost recovery? Apakah pemerintah tidak mendapatkan bagi hasil?
A : Secara umum, prosentase bagi hasil merupakan prosentase net dimana hasil produksi harus dikurangi dulu dengan biaya produksi sebelum dibagi ke dua belah pihak. Sehingga dengan konsep ini, maka pemerintah tidak mendapatkan bagi hasil apabila hasil produksi belum cukup untuk mengganti biaya produksi. Namun untuk menjamin adanya penerimaan negara atas migas, walaupun hasilnya belum menutup biaya produksi, di kenalkan mekanisme FTP (First Tranche Petroleum). Dimana pemerintah secara otomatis memperoleh 20% dari produksi sebelum hasil produksi tersebut dikurangkan cost recovery dan investment credit . FTP ini diperhitungkan kembali sebagai bagian dari prosentase bagi hasil

Q: Bagaimana cara menghitung bagi hasil migas?
A : 85 : 15 (untuk oil) dan 70 : 30 (untuk gas) adalah prosentase yang dihitung dari Equity to be split. Ini bagi hasil yang dijamin dalam kontrak bagi hasil. Namun untuk mendapatkan angka ini, terdapat perhitungan DMO, DMO fee dan Tax. Sehingga perlu dilakukan perhitungan gross up atas prosentase di bagian ETBS ssehingga secara bottom nilai prosentasenya mencapai 85 : 15 dan 70 : 30

Sumber: Kompasiana

Berapa cadangan minyak Indonesia

Wednesday, July 03, 2013


Pemerintah berencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak pada bulan Juni ini. Sebab harga minyak dunia terus merangkak naik. Menyebabkan jumlah subsidi pemerintah terus melonjak. Mencekik APBN. Sementara produk migas Indonesia sendiri terus turun. Jika tidak melakukan sesuatu, maka ekonomi nasional secara keseluruhan bisa terganggu. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, saat berkunjung ke redaksi TV One beberapa waktu lalu, yang juga dihadiri wartawan VIVAnews.com, menyampaikan bahwa produksi migas Indonesia kini nyaris berada di titik nadir.Namun Guru Besar Teknik Perminyakan ITB ini meyakini produksi itu akan naik dengan masifnya eksplorasi dan eksploitasi untuk menemukan cadangan baru. Indonesia saat ini memang telah berubah menjadi importir minyak bumi dan bukanlah negara dengan kekayaan migas yang berlimpah. Cadangan minyak Indonesia hanya 3,6 miliar barel, sungguh jauh bila dibandingkan dengan Venezuela yang jumlah cadangannya mencapai 300 miliar barel. Jika temuan baru tidak ada, "Kira-kira cadangan minyak kita habis 12 tahun lagi," kata Rudi Rubiandini. Lahir di Tasikmalaya 9 Februari 1962, Rubiandini sudah lama bergelut dengan semua urusan di dunia perminyakan. Setelah lulus dari Teknik Perminyakan ITB tahun 1985, dia kuliah diTechnische Universitaet Clausthal Jerman. Lama berkarir di BPMIGAS mengantarkan Rubiandini ke kursi Wakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).  Turun dari kursi Wamen Januari 2013, dia kemudian diangkat Presiden menjadi Kepala SKK Migas. Jabatan yang mengharuskannya menguasai secara rinci setiap perkembangan dunia minyak Indonesia. Bagaimana kondisi perminyakan kita, seberapa besar stok yang tersedia, apakah ada temuan sumber minyak baru, dan bagaimana strategi SKK Migas  menggenjot produksi?  Berikut petikan wawancara dengan Rudi Rubiandini.
Sebenarnya, berapa cadangan minyak Indonesia saat ini dan akan habis kapan?
Jadi begini. Indonesia memiliki 3,6 miliar barel minyak. Apabila kita produksikan 800-900 ribu barel setiap hari, maka kira-kira cadangan minyak kita  habis 12 tahun lagi.  Itu logis, kalkulatif, semua dapat dihitung. Tetapi jangan lupa, cadangan minyak bisa bertambah, dengan cara eksplorasi. Ketika eksplorasi menghasilkan jumlah minyak yang sama untuk produksi maka level cadangan tidak pernah turun. Pada tahun 1970 juga pernah dikatakan bahwa cadangan minyak kita akan habis pada 10 tahun lagi. Sekarang sudah 2013. Dan sekarang saya bilang bahwa 12 tahun lagi minyak kita akan habis, tapi nanti tahun 2100 akan ada juga yang mengeluarkan statement yang sama. Mengapa bisa begitu? Karena ada eksplorasi. Yang menyebabkan minyak kita akan habis atau tidak, adalah eksplorasi. Minyak yang kita sedot hari ini adalah hasil eksplorasi dari kakek dan orang tua kita 10-20 tahun lalu.
Minyak itu adalah sebuah benda yang keluar dari bawah, karena lebih ringan dari air maka bisa otomatis naik, apalagi gas. Minyak akan naik hingga berhenti di batuan cekungan ke atas. Untuk mencari minyak di dalam tanah maka kita lakukan ultrasonik dan ledakkan dinamit untuk mendapatkan seismik, bentuk batuan tanah. Ketika menemukan cekungan di dalam tanah, ada dua kemungkinan, apakah berisi air asin atau minyak bumi. Kalau dapatnya air, maka kita sebut dry hole.
Pertama kali orang menemukan minyak adalah di permukaan dan zaman dulu minyak bumi digunakan sebagai obat. Ada koreng, dibalut dengan minyak pasti sembuh. Kenapa? Karena minyak itu hidrokarbon, tidak ada oksigen. Sedangkan koreng butuh oksigen untuk berkembang. Dengan kulit dilapisi minyak, maka korengnya akan mati. Lalu berkembang menjadi obor saat dilapisi dengan kain dan dibalut di atas kayu lalu menjadi bahan bakar.
Setelah minyak di permukaan habis maka lama-lama minyak semakin dalam. Harus di bor menggunakan pipa. Paling dalam bisa hingga 15 ribu meter dari permukaan tanah. Dan bukan hanya dibor secara vertikal, namun bisa miring dan horizontal. Akibatnya, investasi eksplorasi menjadi mahal. Ada sumur yang harganya bisa mencapai US$100 juta atau setara Rp1 triliun dan itu belum pasti dapat minyak.
Dan semua cost recovery diganti oleh negara?
Pemerintah tentu tidak mau menanggung eksplorasi migas yang membutuhkan dana besar, maka dibuatlah kontrak eksplorasi. Silahkan ngebor eksplorasi. Kalau tidak dapat, maka tidak diganti serupiah pun oleh negara. Kalau dapat minyak, maka baru diganti oleh negara setelah berproduksi. Dibayarnya bukan menggunakan uang, tetapi equivalent dengan minyaknya, kita sebut sebagai kontrak bagi hasil. Silahkan investasi, tidak berhasil maka tidak dibayar. Kalau berhasil, seluruh produksinya dipotong dulu biaya eksplorasi, baru dibagi hasilnya. Itu pun bukan 50:50, tetapi negara mendapatkan 85 persen, kontraktor hanya 15 persen. Jadi betapa keberpihakan kepada negara cukup tinggi. Perhitungannya, untuk kontraktor 15 persen, untuk cost recovery atau pengembalian investasi itu 20-25 persen dan sekitar 60 persen pasti untuk negara. Bandingkan dengan industri pertambangan, yang keluar dari tanah paling hanya 25 persen yang masuk ke dalam kas negara. Sisanya ke para kontraktor, karena mereka menggunakan konsep kontrak karya. Bandingkan pertambangan emas, tembaga, batu bara, dan 100 jenis pertambangan dapatnya hanya Rp120 triliun ke kas negara, sedangkan industri migas hanya satu komoditas dapatnya Rp360 triliun masuk ke kas negara.

Jadi untuk meningkatkan produksi migas membutuhkan eksplorasi besar-besaran? 

Iya. Pertanyaannya kenapa banyak perusahan asing? Kita tanya balik ke perusahaan Indonesia, siapa yang mempunyai uang puluhan hingga ratusan triliunan secara tunai, bukan pinjam dari bank untuk eksplorasi? Dan kalau tidak berhasil maka kontrak bisa diputus dan tidak menghasilkan apa-apa. Tidak ada yang berani.
Kebetulan kita punya warisan blok migas dari Belanda dan itu semuanya diberikan kepada Pertamina. Sedangkan perusahaan asing disuruh cari dari tempat kosong, maka muncullah Chevron, Total, BP. Yang bekas Belanda, dikuasai oleh Pertamina namun ternyata Pertamina tidak bisa mengelola sendiri blok migas, maka minta pihak ketiga, munculah JOB, Joint Opearation Body. Jadi ada, bagian Pertamina yang dikelola oleh perusahaan asing.
Dari seluruh Indonesia, 50 persen lahan industri migas dikuasai oleh Pertamina. Tapi produksi nasional, produksi migas asing lebih besar daripada produksi Pertamina. Di media massa dibalik termnya, industri migas dikuasai asing. Padahal, perusahaan asing justru telah membuat produksi migas kita itu tinggi.

Apakah karena Pertamina minim eksplorasi?
Nah, kenapa Pertamina tidak begitu agresif? Ada masalah kecil ketika Petronas belajar dari Pertamina, tetapi saat ini Petronas tumbuh pesat. Petronas tidak memberi dividen kepada pemerintah sehingga dananya bisa untuk eksplorasi dan mereka bisa mengembangkan bisnis migas. Sedangkan Pertamina tidak, karena pertamina tunduk pada peraturan BUMN dan wajib memberikan deviden. Seharusnya keuntungan Pertamina digunakan untuk eksplorasi tetapi ini dikembalikan ke negara menjadi deviden. Jadi tidak ada feedback, tidak ada return uang, dari pengelolaan minyak tadi menjadi penemuan minyak baru.
Lahan pertamina memang bekas Belanda. Tapi ambilah contoh Cepu, yang semula dibor dengan kedalaman 300-400 meter oleh Belanda. Di zaman Pak Harto diberikan kepada Tommy melalui Humpuss. Tommy perlu uang dijual ke Ampolex, lalu dijual lagi ke Exxon. Diperluas dan diperdalam oleh Exxon dan dapatlah seperti sekarang, 165 ribu barel pada 2014 nanti.
Ada beberapa hal yang sebenarnya perlu kita dilakukan. Pertama, cobalah sumur Pertamina yang dangkal-dangkal ini dibor lebih dalam. Memang belum tentu dapat, tapi keberanian untuk mengebor lebih dalam ini terbatas. Kedua, Pertamina kan dapatnya bekas Belanda, semua di darat. Belum pernah Pertamina mencari sendiri di laut. Yang ada ambil alih punya BP di Offshore North West Java dan utara Madura, West Madura Offshore. Padahal masa depan migas Indonesia ada di laut, dan itu pun di laut dalam, seperti Inpex di selat Timor, Donggi Senoro, ENI di lapangan Jangkrik. Laut-laut dalam di Timur Indonesia terus eksplorasi.

Kenapa belum dilakukan?
Bagi pertamina, daripada uang kosong melompong karena tidak dapat, mending akuisisi minyak yang sudah berproduksi. Tanah itu kosong melompong, jadilah peta. Selama Pertamina tidak melakukan self exsploration maka tidak pernah ada tambahan minyak.
Selama ini Pertamina sebagai BUMN, kalau dry hole, dianggap merugikan negara. Kalau eksplorasi belum tentu dapat minyak.  Rasio sukses eksplorasi itu 30-40 persen, paling tinggi 50 persen. Jadi artinya ngebor 10, yang berhasil 3-4 sumur. Maka yang gagal itu kan duit hilang. Jumlahnya miliaran, triliunan. Pemerintah membatasi Pertamina untuk masuk dalam bisnis yang beresiko tinggi.
Pertamina saat ini saya dorong untuk eksploitasi lapangan yang masih tidak diapa-apakan,Enhanced Oil Recovery (EOR) sedang digalakkan. Kenapa? lapangan asing tadi sudah disedot 40-50 persen. Lapangan Pertamina ini baru 10-15 persen. Ini lapangan kalau diurus secara benar pun hasilnya akan naik. Pertamina bisa kok.

Tetapi kan Pertamina mengelola sumur tua?
Sebetulnya sumur tua bukan berarti minyaknya akan habis. Justru sumur itu telah terbukti ada minyak. Kalau masuk ke lapangan baru kan belum tentu ada hasilnya.
Masalah ini terjadi karena political will atau internal Pertamina?
Kalau dalam hal Pertamina, ini intern Pertamina. Pertamina sudah mendapatkan privilege dari negara. Perusahaan asing itu mendapatkan bagian 15 persen dari minyak, 30 persen dari gas. Sedangkan Pertamina mendapatkan bagian 40 persen. Ditambah kewajiban Domestic Market Obligation. Perusahaan asing dibayar 25 persen dari harga dunia, Pertamina itu full price.Jadi, pantaslah pendapatan negara mengecil, pendapatan Pertamina membesar. Sebenarnya keberpihakan kepada Pertamina itu sudah terlihat, tetapi mengaku sebagai anak tiri padahal sudah dianak emaskan.

Kenapa saat ini industri hulu migas Indonesia seperti tertinggal dari negara lain?
Kalo masalah industri migas kenapa tertinggal dibanding negara lain, itu political will. Seperti dana eksplorasi, pemerintah bisa sisihkan lima persen dari pendapatan migas untuk eksplorasi.
Masalahnya, saat ini kalau ada perusahaan asing masuk ke Indonesia, mereka hanya dikasih lembar kosong tanpa peta, perusahaan asing di Indonesia harus melakukan seismik sendiri. Padahal di Malaysia, itu investor diberikan CD isi peta dan hasil seismik tiga dimensi. Dana yang disebut petroleoum fund ini sangat dibutuhkan di Indonesia, jumlahnya tidak besar. Cukup sekitar lima persen dari hasil migas dikembalikan untuk eksplorasi.

Apakah masalah petroleoum fund sudah diusulkan kepada pemerintah?
Jadi masalah petroleoum fund, kami sudah siapkan beberapa poin di revisi Undang-undang migas yang baru. Salah satunya, kita coba adakan lima persen dari hasil migas untuk eksplorasi, sedangkan 95 persen sisanya masuk ke kas negara. Sehingga, petroleoum fund ini tidak meminta dari pajak atau manapun.

Siapa yang berhak mengelola dana ini, sebab jumlahnya tidak kecil. Bisa mencapai Rp15 triliun?
Petroleoum fund ini akan masuk ke dalam Badan Geologi, sebuah badan milik negara yang bertugas untuk eksplorasi pertambangan dan migas. Kalau tidak ada uangnya, maka Badan Geologi ini hanya sebagai pengumpul data hasil eksplorasi yang dikerjakan orang lain. Kuncinya adalah duit. Ketika duitnya ada maka Badan Geologi jalan, data jadi ada, maka cadangan meningkat.
Saat ini ada badan pengambil data, semi swasta. Namanya Patra Nusa Data. Itu semi pemerintah yang tugasnya mengumpulkan data namun berada di bawah Kementerian ESDM. Ini kan salah? Seharusnya dikembalikan ke Badan Geologi namun karena Undang-undangnya belum ada sehingga tidak jalan.

Kenapa bukan SKK Migas?
SKK Migas lebih bertugas untuk mengamankan kontrak yang telah ditandatangani oleh pemerintah dengan kontraktor. Watchdognya ini SKK Migas. By the law, Badan Geologi inilah yang berhak memegang petroleoum fund.

Soal cadangan migas Indonesia sebesar 3,6 miliar barel tadi. Apakah itu ukurannya sangat besar untuk sebuah negara? Artinya, apakah Indonesia negara kaya minyak?
Indonesia mempunyai cadangan minyak 3,6 miliar barel sedangkan Venezuela itu 300 miliar barel. Kalau Indonesia mempunyai cadangan minyak 300 miliar maka saya berani seperti Hugo Chavez dengan menasionalisasikan perusahaan minyak asing. Sekarang ini, investor mau datang ke Indonesia saja saya bersyukur. Orang kaya sombong seperti Venezuela itu biasa, orang miskin sombong itu luar biasa. Kita harus sedikit terbuka dengan investor asing.
Norwegia saat ini booming dengan cadangan migas yang mencapai 10 miliar barel dengan penduduk 8 juta. Sedangkan kita, cadangan lebih sedikit dari Norwegia namun penduduknya 240 juta. Beda sekali konteksnya dalam membuat aturan. Di negeri yang kaya minyak, mereka menggunakan services contract. Kontraktor asing diundang dibayar dengan barang dan tenaga kerja mereka, sedangkan seluruh minyak untuk negara. Sedangkan di Indonesia tidak, yang bayar kontraktor.
Ingat, nasionalisasi di Venezuela itu bukan berarti perusahaan diusir tetapi mereka beli dari kontraktor-kontraktor asing lalu perusahaan tersebut menjadi perusahaan nasional karena cadangan minyak mereka melimpah. Masalahnya Indonesia, uangnya dari mana?

Anda sudah petakan kendala di industri migas. Kira-kira bagaimana produksi migas Indonesia ke depan?
Beberapa waktu lalu saya bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua jam. Karena selembar demi selembar paparan saya dia kupas dan beberapa masukan dari saya diterima dan keluar sebagai keputusan. Ada hal yang minimal harus dilakukan. Pertama, pemangkasan birokrasi. Kedua, insentif fiskal eksplorasi.
Saya juga ceritakan kepada Pak Presiden bahwa untuk kegiatan eksplorasi ada 25 izin dan memproses izinnya butuh 2-3 tahun. Pak Presiden bilang kapan mulai kerjanya? Lalu Presiden memerintahkan Pak Sudi Silalahi (Mensesneg) untuk menyederhanakan perizinan menjadi tujuh. Seluruh menteri bergerak untuk merevolusi perizinan.
Saya ingin menyampaikan bahwa visi SKK Migas jangka panjang adalah meningkatkan penemuan cadangan migas dengan eksplorasi. Kenapa? Hari ini kita nikmati minyak karena hasil eksplorasi 10-20 tahun lalu. Jangka menengah, kegiatan lapangan-lapangan yang idledengan sentuhan EOR, lalu tingkatkan kapasitas nasional, hidupkan perbankan dan kontraktor nasional.
Sedangkan jangka pendek, mengamankan lapangan yang akan onstream dalam waktu dekat, seperti proyek Banyu Urip, Jangkrik, dan Donggi Senoro. Lalu menurunkan decline rate jadi nol. Dari minus lima hingga sepuluh menjadi nol. Ini bukan pekerjaan gampang, dari dulu sulit kok. Aslinya, sebuah blok migas itu bisa turun 20-40 persen, namun karena ditekan dengan menambah sumur maka menurun menjadi enam persen. Tahun ini saya canangkan nol, bukan hanya nol namun malah naik.
Sekarang saya targetkan produksi minyak Indonesia 840-850 ribu barel. Akhirnya kementerian keuangan menggunakan angka 840 ribu barel. Per hari ini produksi 842 ribu barel. Jadi bukan hanya zero decline. Tetapi sekarang memang titik nadir produksi  migas indonesia, tapi nanti akan naik. Saat ini produksi migas terbukti mulai rebound. Insya Allah.
Anda yakin produksi migas Indonesia akan naik?
Saya sampaikan kepada Pak Presiden, sampai 2019 minyak dari lapangan Banyu Urip, Cepu sudah keluar semua. Gas dari Tangguh train tiga juga sudah keluar. Pada 2019 nanti Indonesia sudah berubah dari minyak ke gas. Jadi kalau kita tidak mulai bangun infrastruktur gas maka akan susah. Saya berharap swasta cepat masuk, alokasi gas telah disediakan.
Yang Banyu Urip saya sudah cek.  Beberapa waktu lalu sudah cek ke lapangan dan sudah mulai bor dua rig. Rencana 42 sumur, 13 sumur diantara untuk inject tingkatkan lifting. Saat ini produksi Blok Cepu baru 53 persen. Insya Allah 2014 akhir sudah produksi penuh. Lalu proyek deep water seperti Bangka, Gendalo dan Gehem akan selesai 2015-2017 dengan jumlah gas 114.742 juta kaki kubik. Ini jumlah yang besar. Kemudian Blok Muara Bakau, Jangkrik yang dikelola ENI dari Italia akan hasilkan 450 juta kaki kubik pada 2016.
Lalu ada blok Masela di selat Timor, ini selesai 2018 dengan produksi 421 juta kaki kubik. Tangguh train 3 produksi 500 juta kaki kubik selesai 2019. Ketika saya dipanggil, Presiden sempat bertanya, adakah yang selesai sebelum Agustus 2014? Saya katakan Bapak tidak perlu khawatir.  Bapaklah yang sudah membuat ini terjadi dan biarlah Presiden selanjutnya yang menikmati. Bapak Presiden tinggal bilang ke presiden selanjutnya, kami persembahkan proyek-proyek migas yang tinggal dinikmati. Ini tabungan bangsa indonesia, anak cucu kita. Totalnya tidak kurang dari US$30 miliar investasi dan tidak menggunakan uang negara. Ada cerita di sektor migas bahwa Indonesia berhasil produksi 1,6 juta barel pada tahun 1977. Negara Indonesia beruntung karena menemukan lapangan besar. Setelah itu turun. Titik puncak kedua muncul lagi pada 1995,  produksi minyak bisa 1,6 jt barel. Kenapa? Karena disentuh EOR di lapangan Duri, caranya injeksi uap. Lalu kemudian turun terus. Lalu kapan ada puncak ketiga? Jawabannya ada pada dua komponen yakni eksplorasi dan EOR. Jika dilakukan bersamaan maka akan membuat puncak produksi yang ketiga. Tetapi kalau dikatakan turun tidak, saat ini produksi Migas Indoenesia mencapai 2,1 juta ekuivalen setara minyak. Lebih tinggi dari produksi Migas pada 1976.
Untuk program BBM menjadi BBG sendiri, sejauh mana komitmen SKK Migas dalam hal ini?
Kami ditantang untuk mengkonversi BBM menjadi BBG. SKK Migas telah siapkan 32 juta kaki kubik untuk proyek ini dari tahun lalu. Tetapi tidak terjadi. Masalahnya bukan di suplai gas tapi converter kit serta SPBG mother daughter tidak jadi-jadi. Kenapa? Karena dibangun menggunakan uang APBN. Saya ingat, karena waktu itu masih menjadi Wakil Menteri ESDM, Dirjen Migas waktu itu, Ibu Evita menyatakan tender SPBG baru selesai November dan baru dibangun Maret. Pak Menkeu tidak mau kalau multiyear karena sudah ada pengalaman pahit di Hambalang. Saya bilang, ini kan multiyear tapi single budget, tapi tetap tidak mau.
Jadi sebenarnya proses berjalan. Kesiapan hulu ada tetapi masalahnya di infrastruktur gas belum siap karena menunggu dana dari APBN.  Saya lebih suka agar swasta masuk. Swasta lebih cepat jadi asal diberikan margin cukup.

Bagaimana dengan renegosiasi harga gas Tangguh?
Sebenarnya ekspor gas Tangguh ke Fujian itu kecil, hanya 11 persen. Tetapi magnitude politiknya besar.  Padahal efek rupiah kecil, hanya Rp40 triliun tambahannya. Tetapi seolah-olah kita jual barang murah ke luar negeri, padahal tidak. Banyak juga gas yang kita jual mahal hingga 17 dolar per MMBTU, tetapi karena Fujian dijual US$3,35 per MMBTU kelihatannya kecil. Waktu itu kita jual gas ketika pasokan gas di dunia sedang besar. Bisa kejual juga bersyukur waktu itu.
Proses renegosiasi Tangguh telah dimulai, untuk harganya belum tahu. Yang jelas, CNOOC telah berkomitmen untuk mengubah harganya. Kami bercita-cita dalam dua bulan selesai, tetapi negosiasi membutuhkan proses yang tidak mudah.
Kami pernah dihujat karena mengekspor gas lebih banyak daripada untuk kebutuhan dalam negeri. Tapi pada tahun 2012, hampir seimbang karena ada kontrak gas yang sudah habis, dan kami  langsung mengalihkannya untuk kebutuhan dalam negeri. Lalu ada usul, kenapa tidak seluruh gas itu digunakan untuk kebutuhan dalam negeri? Jawabannya sederhana. Ini infrastrukturnya tidak ada, apa gasnya ditenteng dalam plastik?

diskusi yang menarik bisa membuka wawasan kita dengan kondisi industri migas indonesia
sumber: viva news